Formasta

ISU PEMBUNGKAMAN JURNALISTIK DALAM REVISI RUU PENYIARAN

Literasi Mahasiswa Sumatera 
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 

ForMASTA Tulungagung - Polemik adanya revisi UU penyiaran tidak hanya berdampak pada media sosial, namun juga para jurnalistik yang selama ini menjaga kualitasnya. Dikarenakan RUU penyiaran menyangkut semua bentuk platform siaran dan penyaringan konten didalamnya. Tidak menepis pula adanya keterkaitan demokrasi dan konsumsi media dalam keseharian masyarakat.

Peninjauan kembali yang dilakukan oleh badan legislasi DPR tersebut memang diperlukan mengingat untuk pertumbuhan kemajuan teknologi informasi dan segala bentuk siaran. Mengenai kejelasan RUU Penyiaran mulai akan terlihat ketika akhir masa DPR periode 2019-2024. Namun, ketika rancangan tersebut muncul ke permukaan publik, penolakan dan polemik pun bermunculan terutama pada pihak yang berinteraksi secara langsung dengan industri penyiaran.

Tidak bisa dipungkiri juga, di satu sisi media sosial menjadi tempat percepatan berbagi informasi dan bahasan isu publik. Di lain sisi media konvensional seperti televisi, radio, dll selalu mengangkat isu yang ramai di media sosial. Begitu pula platform media hiburan berbayar seperti youtube, tiktok, netflix, disney, atau prime video. Disinilah adanya RUU penyiaran melakukan intervensi dengan dalih melindungi konsumen.

Berikut sejumlah pasal dalam draf RUU penyiaran yang dianggap Kontroversial:

  1. Pasal 8 Ayat (1) huruf q: Dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf q berisi bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Isi tersebut bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 1999 tentang pers, khususnya berkaitan dengan fungsi Dewan Pers.
  2. Pasal 50B Ayat 2 huruf c: Pasal 50B Ayat 2 huruf c berisi mengenai wewenang dari KPI sebagaimana Ayat (1) yaitu selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. SIS memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Isi tersebut menuai kontra karena mengancam kemerdekaan pers dan bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, terhadap pers nacional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan siaran.
  3. Pasal 50B Ayat 2 huruf k: Pasal 50B Ayat 2 huruf k Penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong. Penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme. Isi Pasal tersebut subyektif dan multitafsir terlebih lagi mengenai pencemaran nama baik. Pasal tersebut menjadi alat untuk membungkam jurnalis/ pers di bidang siaran.

Hal ini menuai banyak kekhawatiran akan terjadinya sensor dan pembatasan terhadap kebebasan pers yang menjadi salah satu tiang demokrasi. Sayangnya Masyarakat belum menyorot lebih tentang adanya draft RUU penyiaran ini. Maka media masa perlu adanya mendekatkan isu ini ke Masyarakat demi pemeliharaan demokrasi negara dan sehatnya industri penyiaran. Kajian dan diskusi di tataran akar rumput perlu dilakukan untuk pengawalan terkait revisi RUU Penyiaran.

penulis: Muhammad Mudhofar Afif, S.E

Editor: Oktavia Dwi Lestari 

Pimred: Ahmad Maryono, M.pd


Post a Comment

Previous Post Next Post
Literasi

Jasa Skripsi