Formasta

Pesantren Kelir Politik dan Kyai Wayang Kharismatik

 

Oleh: Nurika Alifah Lathiif  
Mahasiswi UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 
 Progam Studi Bahasa dan Sastra Arab 


(sumber foto. https://www.instagram.com/_zukkk?igsh=MWhteG5wbzA2NTl1bw==)

ForMASTA Tulungagung - Lahirnya para figur-figur terkemuka manifesto dan penggerak pembangunan bangsa peradaban tidak lepas dari rahim pendidikan pesantren. Pesantren kerap kali dijadikan akar rujukan tranformasi ilmu bagi pelaku rihlah Ibnu Bathuhah. Pesantren juga sering dikatakan sebagai Kawah Candradimuka yang menempa Gatotkaca sebelum membumi pada masyarakat yang begitu majemuk. Dalam perspektif kekinian yang ditarik dari penafsiran kaca mata sejarah, Kawah Candradimuka merupakan tempat pelatihan diri atau bisa dikatakan penggemblengan seorang pemimpin sehingga memiliki kepribadian yang kuat, tahan uji serta jiwa yang bersih sebelum terjun pada masa depan yang penuh tantangan. Lantas apa tujuan yang melatarbelakangi pesantren dibuat? Seberapa penting peran pesantren dalam memberantas kebodohan dan pembentukan tabiat dalam bingkai berbasis kultur islami? Eksistensi pesantren sebagai pencetak embrio unggul tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran pesantren menempati posisi strategis di kancah elit modern. Dalam salah satu kajiannya yang membahas tentang “Peran Pondok Pesantren Sangat Penting”, Gus Baha meyebut kelebihan pondok pesantren itu adalah mentabukan segala sesuatu yang bernilai asusila sehingga menciptakan konsesus. Melalui klasikal moral pondok pesantren, pembibitan karakter merupakan salah satu penanaman benih yang disokong dari peneladanan dan pembiasan yang dikemas rapi dalam implementasi tradisi-tradisi kepesantrenan. Sehingga dengan adanya metode tersebut akan menghasilkan pembentukan kepribadian yang cinta akan kebijaksanaan dan menolak hal-hal yang bersifat asusila. Maka pendidikan karakter bisa dinyatakan sebagai ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia (humanis human). Sebagai sumbu utama dari dinamika sosial masyarakat yang begitu beragam , pondok pesantren tampil membentuk subkultur yang menjujung tinggi nilai-nilai bhineka. Dalam buku berjudul “Islam Kosmopolitan”, KH Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan panggilan Gus Dur awalnya dengan sedikit ragu menyebut pesantren dengan istilah subkultur. Namun dalam pembahasan selanjutnya, khususnya setelah menguraikan keunikan-keunikan pesantren, Gus Dur secara lebih pasti menyebut pesantren sebagai subkultur dengan adanya tiga elemen. Yaitu pola kepemimpinan di dalamnya yang berada di luar kepemimpinan desa, literatur universalnya yang terus dipelihara selama berabad-abad, dan sistem nilainya sendiri yang terpisah dari yang diikuti oleh masyarakat luas (2007, hal 136). Nilai subkultur yang terbingkai dalam bingkai kebhinekaan ini diperlihatkan dengan ajaran islam yaitu itsar, yaitu mementingkan kepentingan bersama diatas kepentingan diri sendiri.

Selain peran pesantren sebagai kantong daripada pendidikan karakter yang dihiasi dengan subtansi tauhid. Pesantren juga merupakan wujud sosial “ideologi ijtihad” yang memiliki pengaruh cukup kuat bahkan unik dalam sistem politik khususnya di Indonesia. Ditelisik bersandarkan kaca mata sejarah, pesantren selalu berada dalam pusaran-pusaran arus tarik menarik kepentingan politik, sehingga tidak sedikit pesantren bahkan para kyai nya melibatkan diri dalam politik. Dapat dibuktikan dengan etos kyai-kyai tempo dulu, salah satunya KH. Wahab Chasbullah, seorang tokoh pendiri Nahdatul Ulama dan pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang. Sekilas, KH.Wahab Chasbullah merupakan simpul penting bagi pelopor kebebasan berpolitik meski berlatar belakang kaum sarungan dan golongan kyai tradisionalis. Kiprah dan jejak politik Kyai Wahab tercatat pernah memimpin sejumlah organisasi perpolitikan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dalam pemikirannya, KH Wahab Chasbullah pernah memandang yaitu “setiap kebijakan yang relevan terhadap kepentingan negara haruslah sesuai dengan sendi-sendi islam”. Dari ungkapan tersebut dapat dipetik kesimpulan bahwa urgensi panggung politik tidak bisa terpisahkan dari kedudukan agama dan peran elit pesantren. Selain itu terbukti, pesantren juga sering dijadikan dalil argumentatif dan pengakuan bagi politikus dalam merebut kekuasaan. Bahkan jauh berabad-abad lalu pesantren mampu menunjukkan identitasnya untuk andil dalam kemerdekaan negara Indonesia.

Namun, seiring perkembangan zaman laju begitu cepat. Melihat dinamika yang terjadi antara pesantren dan politik di kancah keindonesiaan. Dewasa ini keterlibatan para tokoh agama dan para santri merupakan bagian wajah dari penggambaran wujud politik nasional, sehingga geliat politik kian marak mewarnai panggung perebutan kekuasaan. Disamping itu pesantren yang dulunya difungsikan sebagai lembaga dakwah islam. Kini, dibelokkan menjadi tempat kampanye perebutan kursi kosong kekuasaan. Pesantren kerapkali menjadi lahan sasaran para politikus dalam membangun dasar atau bisa dikatakan sebagai pondasi bagi kepentingan perpolitikan. Bahkan di setiap pemilihan umum (pemilu) hak suara para kalangan tokoh agama selalu diperebutkan oleh partai-partai politik nasionalis. Kenyataanya, banyak partai-partai politik yang menempatkan para tokoh-tokoh agama pada jajaran pengurus partai guna menjadi endors selebriti pada iklan politik. Kecenderungan ini di satu sisi dapat memperluas akses politik kalangan islam. Namun, pergulatan politik yang melibatkan kaum pesantren akan mengakibatkan penurunan kualitas dan fungsi daripada pesantren. Dibuktikan dalam UU hal ini diatur dalam Pasal 280 huruf h UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. “Pelaksana, peserta tim dan kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan Pendidikan”. Ditegaskan pula dalam pernyataannya, Yaqut Qolil Khomas selaku Menteri Agama mengatakan “Pondok pesantren sama halnya seperti tempat ibadah yang hanya boleh digunakan untuk proses belajar mengajar maupun ritual keagamaan. Dan untuk kampanye politik elektoral tidak ada hubungannya dengan keagamaan”. Dapat dikatakan ketika agama di campur dengan politik, maka agama akan rusak. Konteks ini menggambarkan seakan-akan agama dan politik saling bertolak belakang. Karena agama hakekat nya mengandung makna assalam (keselamatan), agama mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan dan juga mengajak pada kemaslahatan. Namun dalam kenyataannya, sebagian politikus bertolak belakang dengan itu. Dalam prakteknya, kerap kali terjadi seorang politisi banyak yang menggunakan agama untuk meraih kemenangannya sendiri. Dan tidak hanya di negri ini, dibelahan dunia manapun seseorang politisi akan menghalalkan segala cara dengan media apapun termasuk agama yang sangat mudah ditafsirkan dengan mudah sesuai kebutuhan masing-masing. Dari podcast nya yang mengusung tema “Bagaimana jika politik dicampur agama?”. Dr. Quraish Shihab mengatakan “hati-hati ketika berpolitik, politik itu candu”.

Kemudian ketika dilihat dari banyaknya problematika isu pesantren, agama dan politik yang marak akhir akhir ini. Apakah benar pesantren dan politik merupakan sesuatu yang bertentangan?. Dan apakah pesantren sebagai salah satu pusat keagamaan dan politik bisa berjalan seiring seirama?. Jika ditarik dari sejarah perkembangan islam, kemunculan islam lebih banyak ditandai dengan nuansa politik bahkan islam tampil di pentas politik sejak zaman Rasulullah hijrah ke Madinah. Maka bisa dipahami islam tidak bertentangan dengan politik. Bahkan dalam ajaran islam juga terkandung konsep-konsep berpolitik. Maka, dalam berasumsi tidak bisa mengatakan islam tidak mengenal politik. Tetapi disisi lain, dalam kenyataanya, langkah-langkah politik seringkali bertentangan dengan langkah-langkah yang dimaksud oleh agama. Karena pada hakikatnya politik merupakan sebuah pemetaan kenegaraan. Jika dihubungkan dengan agama, bagaimana politik bisa membingkai tatanan nilai luhur dalam agama tersebut. Terjadi pertikaian dan ambisi untuk meraih kemenangan sendiri bukan disebabkan karena politik nya namun penggunaan politik yang tidak sesuai dengan tata nilai agama tersebut. Dalam agama islam , terdapat satu ungkapan yang pernah disabdakan oleh Nabi addinu wal mulku tau'amani , agama dan politik kekuasaan. Keduanya merupakan saudara kembar. Agama sebagai tata nilai kehidupan dan politik merupakan tali sebagai pengikat agar nilai kehidupan itu tidak terlepas. Namun jika dua kesatuan ini bercerai, dimana politik itu berjalan sendiri tanpa mengikuti alur masyarakat maka akan ada sesuatu yang hilang. Dari sinilah awal daripada keresahan masyarakat terjadi, karena apa yang dibawakan oleh agama tidak dapat menyatu degan kebijakan-kebijakan politik. Oleh karena yang terpenting bukan hanya kata agama dan politik, namun bagaimana membawa agama dalam berpolitik dan membawa politik tanpa bertentangan dengan agama. Sehingga tidak ada penyalahgunaan terhadap agama dan politik. Dan tidak menjadikan agama bahkan pesantren sebagai umpan atau alat untuk mendapatkan kekuasaan.

Dalam wacana politik di Indonesia, sikap andil para kyai dan tokoh agama menjadi pengaruh baik tetapi juga menciptakan situasi yang membingungkan. Peran tokoh agama dan pesantren sebagai pusat kajian sumber agama sering menimbulkan benturan antara pihak pesantren dan juga politik. Selain itu para tokoh kyai dalam hal ini, menjadi tempat konsultasi untuk memutuskan berbagai masalah yang berkembang di masyarakat, peran sosial budaya pesantren ini bahkan semakin kuat karena kiai umumnya mengadakan pengajian khusus untuk anggota masyarakat yang berada di sekitar pesantren. Karena sebagai pemimpin kharismatik, kyai menempati posisi sentral dalam menentukan corak kehidupan masyarkat yang beragam, oleh karena itu kyai jangan sampai dikendalikan oleh kemudi politik namun kyai sebagai influence yang mengendalikan roda putaran perpolitikan. Gerak pesantren dalam perpolitikan ini menjadi pemanfaatan saja, bagaimana politikus memanfaatkan pesantren sebagai ladang bermain mereka untuk meraup suara dari masyarakat, dari masyarakat kelas menengah kebawah menjadi target bagi mereka yang akan mencalonkan dirinya pada kontestasi politik

Mengingat kompleksnya permasalahan di era perpolitikan ini, keterlibatan pesantren yang merupakan bagian dari agama dalam politik didorong akan motif politik yang beragam. Pro-kontra yang mengiringi keterlibatan sebagain pesantren dalam politik praktis pada dasarnya merupakan wujud ekspetasi umat terhadap posisi pesantren yang terhormat. Persoalan mengemuka ketika pesantren merupakan referensi nilai keagamaan lantas ditarik pada dunia perpolitikan, maka pesantren harus membangun benteng agar tidak dijadikan alat dari setiap tuntutan aktivitas perpolitikan. Disini pesantren perlu berhati-hati dalam menentukan sikap politiknya, sebab keterlibatan politik pesantren memiliki dampak yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Disamping itu pesantren harus mengambil kebijakan yang tegas dalam permasalahan ini, berdikari dalam pandangan politik agar tidak digerus ombak perpolitikan. Di Zaman segala kenikmatan dituhankan, tidak menutup kemungkinan kesibukan politik akan melalaikan pimpinan pesantren dalam mengelola dan mengurus pendidikan pesantren. Sekali lagi, dalam monopoli perpolitikan agama dan pesantren bukan wayang yang dimainkan oleh dalang yang digunakan untuk pengalihan isu kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi. Selanjutnya, masa depan pesantren pelu melakukan revitalisasi peran politik yang lebih sesuai dengan semangat zaman dan tantangan masyarkat yang kian semakin rasional. Politik pesantren pada dasarnya bukan politik kekuasan, akan tetapi poltik kerakyatan yang bergerak pada ranah yang bernilai kultural.


penulis : Nurika Arifah Latif

Pimred : Ahmad Maryono, M.Pd

Editor: Oktavia Dwi Lestari

Post a Comment

Previous Post Next Post
Literasi

Jasa Skripsi