Formasta

Degadrasi Moral

Literasi Mahasiswa Sumatera
Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 

ForMASTA Tulungagung - Moral adalah tingkah laku atau perbuatan seseorang. Dalam bahasa arab moral disebut dengan akhlak, Namun secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan perbuatan yang baik.

Di era revolusi industri 4.0 ini sangat terlihat dengan jelas penurunan moral anak-anak bangsa. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, gaya berpakaian dan gaya berkomunikasi. Tak heran jika anak-anak muda hari ini tidak lagi menggunakan sopan santun dalam menjalankan kehidupan sosialnya.

Jika ditinjau dari segi pendidikan, maka sangat jarang bagi anak-anak bangsa yang tidak mengenyam bangku sekolah. Kurikulum yang diberikan juga mengarah pada penekanan pendidikan karakter, yang mana mengajarkan moralitas dalam menjalani kehidupan.

Namun ini yang menjadi polemik dalam dunia pendidikan, dimana para pendidik selalu menekankan agar peserta didik memiliki budi pekerti luhur dan mampu menghormati terhadap semua yang ada di sekeliling nya. Sedangkan dilain sisi para pendidikan yang belum mencontohkan nilai tersebut.

Mungkin ini sebuah kritikan bagi para pendidik yang tidak memliki keikhlasan dalam proses transformasi  ilmu yang dimilikinya. Mereka hanya sebatas mengajari tanpa memberi contoh, Sehingga menciptakan generasi materialis yang hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya, bukan pada nilai-nilai pengabdian.

Tak jarang jika generasi muda selalu menggunakan logika matematika dalam menjalani kehidupan. Dimana sekolah tinggi hanya untuk keinginan mendapatkan jabatan tinggi, status sosial yang baik, materi yang banyak dan lain sebagainya. Sehingga akan menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya.

Saya jadi teringat di zaman yunani kuno ada masa dimana degradasi moral terjadi begitu pesat. Kaum sofis yang mengajarkan bahwa kebenaran bersifat relatif, manusialah yang menjadi barometer penentu sebuah kebenaran. Sehingga pengampu kebijakan atau penguasa sebagai penentu tertinggi sebuah kebenaran.

Jika hari ini kita masih terbelenggu dengan gaya berfikir seperti ini, maka akan menjadi dampak kerusakan yang begitu besar bagi generasi yang akan datang. Mereka akan berlaku semaunya, karena mereka sendirilah yang menjadi penentu kebenaran. Tidak mempercayai adanya kebenaran absolut, niscaya akan menuhankan akal mereka.

Socrates mendebat pemikiran ini, ada salah satu kritikan nya terhadap paham kaum sofis. “Apakah engkau tidak malu karena begitu peduli dalam menghasilkan uang, ketenaran dan nama baik, sementara engkau tidak peduli dengan kebijaksanaan, kebenaran dan perbaikan jiwamu”.

Kita butuh sosok figur yang dapat mengimplementasikan nilai-nilai kebijaksanaan dan mampu memanifestasikan sebagai sikap yang baik terhadap sesama. Bukan hanya sekedar mengajari namun juga sebagai uswatun hasanah yang bisa dicontoh bagi generasi mendatang.


Penulis : Nur Kholis S.Pd

Editor : Oktavia Dwi Lestari

Pimpinan redaksi : Ahmad Maryono S.Pd

Post a Comment

Previous Post Next Post
Literasi

Jasa Skripsi