ForMASTA Tulungagung - Konon ia selalu ingin melompat dari jendela kamarnya kala jam
menunjukkan pukul 02.00 wib malam. Tapi kembali duduk ketika tuhan berbicara kepada
hatinya.
Haruskah ia melompatkan diri, atau meminum kopi?
Ternyata tidak untuk keduanya, karena malamnya begitu menggigil,
dan cemas hanya untuk berpikir hadiah apa yang akan dia dapatkan besok pagi
selain kopi, lagi.
Belum selelesai, kesengaja’an ini menjadi teman tidurnya, bayang nya menjadi racun yang barangkali dapat menyesap nya bersama nyawa yang
ia hidangkan selalu.
Tuhan menitipkan intisari kehidupan pada diri manusia bernama jiwa,
kebenarannya kini pada tubuh yang ia miliki apakah juga manusia, seperti tuhan
menitipkan jiwa di dalamnya.
Jika benar, ah ingin menangis keras rasanya dan mengatai seberapa
jauh diri ini mampu menjaga jiwa dari kasih Tuhan, malang sekali tumbuh dengan
gelap.
“masih saja di tempat yang sama”
Dia datang, aku menyambutnya dan menyebutnya sebagai malaikat
kematian. Bagaimana senyumnya, tatapannya, geraknya ketika menempatkan dirinya
disampingku, semua menggambarkan seolah ingin ku tarik ia untuk bersama-sama
menyerahkan nyawa kepada Tuhan.
“ya, selalu seumur hidupku” Kujawab saja asal
“Bentuk keadilan paling
nyata adalah kematian, dimana semua bentuk mahluk setara, dan betapa anehnya bagi mereka yang tidak menganggap persaudaraan
kepada kematian, padahal ini adalah kepastian yang paling pasti dari semua
takdir yang dikhayalkan.”
Dia datang hanya untuk mengoceh, benar saja bukan?.
Aku tertawa kecil kecil, seperti lupa bahwa sebelum ini memikirkan
racun, atau pisau di dapur, atau cara cara lain yang tidak terpikirkan orang
lain, untuk menyelesaikan kehidupan yang ku rasa pahit.
Persis seperti diriku sendiri, dia sama memikirkan dan
menimang bentuk kejahilan hidup.
“Jangan hari ini, baru saja Tuhan berbisik, neraka hari ini penuh”
Dia kembali mengatakannya, aku tau kalimatmu itu hanya menunda,
agar jauh lebih lama untuk bertahan.
Dan sesuatu setelah itu, ambil yang tersisa dan jalani kehidupan
dengan benar. Jangan menjadi yang paling malang, tuhan tidak mengutukmu.
Manusia adalah apa yang ia makan, buku apa yang ia baca, kota apa yang ia kunjungi.
Buatlah dirimu menjadi bagian yang hidup, bentangkan halaman buku yang kau buat
untuk nyawa yang lahir setelahmu.
Dan ini surat yang ia tinggalkan sebelum bertemu Tuhan
Penulis : Oktavia Dwi Lestari
Editor : Oktavia Dwi Lestari
Pimred : Ahmad Maryono S.Pd
Tags:
sastra