Formasta

Menghardik Jiwa Yang Sama

Literasi Mahasiswa Sumatera
Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 

ForMASTA Tulungagung - Sering kita bertanya pada diri, mengapa aku hidup? Mengapa tuhan memilihku untuk lahir di dunia ini? Apakah keuntungan tuhan mentakdirkan ku hidup di dunia? Pertanyaan - pertanyaan seperti inilah awal manusia mulai naik level, menggunakan fasilitas tuhan berupa akal untuk terus berfikir.

Saya rasa ini bukan soal untung dan rugi, namun ini adalah soal cinta. Alasan mendasar manusia diciptakan adalah cinta. Tidak ada keuntungan besar saat tuhan menciptakan manusia, begitu pula sebaliknya. Tuhan tetap agung walau ada dan tidak adanya manusia.

Namun realita yang kita hadapi di dunia seolah berbanding terbalik dengan dengan esensi manusia yang sesungguhnya. Kita hidup sering tanpa landasan cinta dan kasih sayang. Sehingga hidup dalam kepuasan membandingkan satu dan yang lain.

Menghardik dan memaki adalah kebiasaan yang tak bisa dielakkan, mengambil hak orang lain, menipu, memfitnah, berbicara dusta dan melakukan banyak hal yang merugikan manusia lain. Apakah kita sudah menjadi manusia sejati?

Ada gagasan menarik dari pemikiran seorang filosof bernama “plotinus”, ia mengatakan bahwa tubuh berbeda dengan jiwa, tubuh bersifat dunia (akan purna) sedangkan jiwa bersifat ilahi. Jiwa tercipta dari percikan cahaya ilahi. Jadi setiap manusia terdapat jiwa yang sama.

Kebahagiaan diatas derita orang lain adalah bahagia semu, bukan yang sejati. Karena penghianat manusia ketika mencoba menghardik jiwa yang sama. Mungkin peran kita memang berbeda, namun kita berasal sari cahaya yang sama.

Segala macam penghakiman sering terlontar dari mulut kita. Sadarkah kita, bahwa ketika melukai orang lain, sejatinya melukai diri sendiri. Memang mencari celah kekurangan orang lain itu jauh lebih asik, dari pada menceritakan kebaikan nya, namun itu bukan ajaran islam.

Manusia terbagi menjadi dua, baik dan buruk. Maka mulai tentukan, kamu berada di posisi mana? Jika kamu merasa sudah baik, maka tetaplah diposisi itu, dan jika kamu merasa buruk, maka jangan pesimis, karena “orang baik punya masa lalu dan orang buruk punya masa depan”

Ini mengajarkan kita bahwa orang baik hendaknya terus melakukan hal baik dan jangan hidup dalam bayangan kegelapan masa lalu. Dan orang yang merasa rendah (buruk) hendaknya menatap ke depan, bahwa masih ada masa depan yang lebih baik untuk bertaubat


Penulis: Nur Kholis, S.Pd

Editor: Oktavia Dwi Lestari

Pimred: Ahmad Maryono, S.Pd

Post a Comment

Previous Post Next Post
Literasi

Jasa Skripsi