Setiap manusia sepanjang zaman dengan segala upaya untuk mencapai kebahagiaan. Ada sebuah premis yang mendasari sebuah landasan akan kebahagiaan, bahwa kebahagiaan bersifat algoritmik, bisa diutak-atik, dan dicapai.
Sederhananya seperti mewujudkan apa yang kita pikirkan, seringkali kita menjadikan kehidupan orang lain sebuah capaian kebahagiaan, seperti berandai menjalani hidup seperti si 'a' maka saya akan lebih bahagia.
Perlu kita ketahui premis inilah masalahnya, bahwa kebahagiaan bukanlah suatu bentuk persamaan yang dapat dipecahkan. Akan tetapi, kebahagiaan sebenarnya bersifat subjektif dan tidak dapat diukur secara obyektif. Kebahagiaan tumbuh dari masalah dan rasa sakit, kebahagiaan adalah buah dari rasa sakit yang sudah dilalui.
Hal ini merupakan alasan sederhana dari mengapa kita perlu merasakan penderitaan atau rasa sakit. Setelah lama berevolusi dengan derajat kegelisahan, ketidakpuasan dengan apapun yang dimiliki, dari sinilah yang membuat emosi kita bergejolak untuk terus bertarung dan berjuang.
Jadi rasa sakit ataupun penderitaan bukanlah bentuk hama bagi kehidupan, melainkan keistimewaan yang dapat membentuk pribadi kita. Dari segala rasa sakit yang terbentuk inilah merupakan pengaruh besar yang mendorong tubuh kita untuk sebuah aksi dan mencapai kebahagiaan.
Cara mendapatkan kebahagiaan justru dengan menikmati perjuangan, orang yang akhirnya bahagia dengan kampus pilihannya adalah orang-orang yang berjuang penuh dengan buku belajarnya didepan meja, orang yang bahagia dengan berat badan idealnya adalah mereka yang berusaha disiplin dengan catatan dietnya.
Jadi kali ini, yang menjadi pilihan adalah medan juang kita.
Rasa sakit atau penderitaan mana yang akan dipilih?, dan alasan relevan apa yang akan diperjuangkan. Berfokuslah pada pemecahan masalah, maka akan membantumu merasakan kebahagiaan.
Penulis: Oktavia Dwi Lestari
Editor: Oktavia Dwi Lestari
Pimred: Ahmad Maryono, S.Pd