Formasta

Mengkritisi Tulisan Laila Khofifah Yang Berjudul Belajar Mencintai dan Menghargai Diri Sendiri

 

Literasi Mahasiswa Sumatera
Program Doktoral UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

ForMASTA Tulungagung - Menangkap poin narasi tulisan yang dibuat oleh sedulur ForMASTA, terdapat beberapa temuan diksi yang perlu penulis jelaskan kembali.

 

Secara esensi, tulisan yang dibuat saudari Laila Khofifah bisa ada kemungkinan mengajak pembaca agar memiliki fokus, percaya diri, sehingga tidak mudah roboh tatkala dalam proses menggapai cita-cita.

 

Secara narasi, tulisan Laila Khofifah tentang "Belajar Mencintai dan Menghargai Diri Sendiri" terbilang provokasi, dan menggunakan diksi-diksi yang berpotensi membentuk pola pikir pembaca untuk hedonis.

 

Beberapa kalimat dan diksi yang dibangun oleh Laila Khofifah banyak menyudutkan orang lain, seolah-olah manusia yang lainya adalah penyakit, penyebab dari kegagalan atas apa yang sedang diharapkan seseorang yang sedang berproses. 


Sekedar meluruskan, bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial, mereka hidup berkelompok, dan saling memberikan mutualis satu sama lain. 


Oleh sebab itu, cara yang lebih baik adalah mendidik diri sendiri menjadi sosok yang adaptif, prediktif, responsif, dan inovatif, serta cakap dalam menyelesaikan persoalan hidup, dalam lingkup pribadi maupun secara sosial. 


Tidak bisa dipungkiri, memang tradisi masyarakat Indo atau sebutlah netizen, mereka banyak menilai proses orang lain. Seperti halnya kuliah dikatakan buang-buang  duit, berpangkat dikatakan gila jabatan, nganggur dibilang pemalas, dan lain-lain. 


Contoh diatas adalah gambaran masyarakat Indonesia, dan itu faktual. Dalam hal ini, bukan berarti kemudian menjadikan kita hedon, atau acuh dengan sekitar. Justru sebaliknya, fenomena demikian adalah bahan yang perlu ditangkap poin pentingnya, sehingga dapat memperbanyak wawasan kita.

 

Cara yang lebih bermanfaat adalah dengan cara memaksimalkan panca indera, dengan melihat, mendengar, merasakan, memikirkan, dan mengkontekstualkan. 


Seseorang akan lebih cepat berkembang, apabila dirinya mampu melewati berbagai dinamika dalam hidupnya. Hal tersebut dinamakan ilmu yang didapatkan melalui pengalaman, dan akan lebih baik jika diimbangi oleh intensitas membaca dan berdiskusi. 


Belajar dari pengalaman, dari buku, dari diskusi, dan berbagai sumber lainya, justru akan membantu pikiran menjadi lebih banyak bahan, sehingga memudahkan seseorang dalam menyelesaikan berbagai problematika, serta lebih matang dalam mengambil sikap. 


Poin penting dari narasi diatas adalah belajar, dan selalu membuka cakrawala berfikir, tidak mengurung pikiran kedalam versi pribadi. Pasalnya, semua yang kita pikirkan juga perlu dikonfirmasi dengan ilmu-ilmu lain agar lebih valid. 


"Pendidikan adalah hidup" Artinya, hidup adalah proses untuk belajar. Oleh Sebab itu, jadikanlah setiap dimensi kehidupan sebagai ruang belajar, selalu mengambil ilmu dari setiap fenomena yang ditemui.

 

Fokus, diksi yang mengandung nilai spirit, istiqomah, dan tekun. Jadi, fokus tidak bermakna menjauh, ataupun membenci, mencela, dan tidak juga bersifat hedonisme. 

Bagaimana jika kita bukan termasuk orang-orang sosialis? 


Kembali pada kerangka di awal, yaitu belajar. Bukan berarti semua orang harus banyak teman, sering berkumpul, atau aktifitas yang sejenis. Hanya saja, kita perlu belajar untuk seimbang, sesuai konteks dan kebutuhan. 


Jadi, kemampuan memanage, menyeimbangkan, atau dalam istilah lain yaitu adaptif, hal itulah yang menjadi penting. Sehingga, dalam kondisi seperti apapun, kita selalu dapat mengambil langkah terbaik, efektif, dan efisien. 


Sekilas tentang kata manusia, terbesit lirih di benak penulis mengenai manusia sebagai khalifah fil ardh, yaitu manusia diciptakan di muka bumi sebagai pemimpin (bagi dirinya maupun bagi makhluk yang lain). 


Poin kedua, "khoirunnas anfauhum linnas" Yaitu manusia yang baik adalah mereka yang bermanfaat bagi sesama. 


Poin ketiga, yaitu manusia adalah makhluk yang diberikan anugerah istimewa (akal pikiran), dan nikmat itu tidak diberikan kepada makhluk yang lainya. 


Berangkat dari beberapa teori tersebut, manusia memiliki hak masing-masing atas hidupnya, dan setiap individu juga tidak boleh mengambil hak individu yang lainya. 


Oleh sebab itu, dalam konteks berkehidupan, manusia akan bisa menciptakan kemaslahatan, keharmonisan, dan kebangsaan yang baik apabila satu sama lain sudi memaksimalkan peranan dan fungsinya, serta nikmat yang diberikan berupa akal pikiran sebagai alat primer.

 

Tetap fokus pada proses, percaya diri, dan selalu belajar dalam setiap ruang dan waktu. Saling membangun jiwa rohman rohim terhadap sesama.


Tetap memaksimalkan akal pikiran sebagai alat untuk menyaring berlian dan permata dari keriuhan dunia dan sandiwara kehidupan. 


Do'a terbaik untuk saudariku Laila Khofifah, karna sudah berani mempertengkarkan pikiran melalui panggung literasi. 


Penulis: Ahmad Ridwan, M.Pd.

Editor: Oktavia Dwi Lestari

Pimred: Ahmad Maryono, S.Pd



Post a Comment

Previous Post Next Post
Literasi

Jasa Skripsi