literasi bujang sumatera |
ForMASTA Tulungagung- Mencintai biasanya identik dengan masa muda, dimana kita sedang terbuai dengan imajinasi dan angan2 untuk memiliki. Hal ini sudah lumrah terjadi dikalangan muda mudi.
Tak heran dalam dunia akademisi khususnya mahasiswa muda, sering mencari pasangan demi memenuhi kebutuhan biologis. Salah satunya adalah perhatian, ini adalah naluri normal yang dimiliki ketika muda.
Namun terkadang pemilihan pasangan itu tak selamanya lancar, penuh tipu muslihat. Orang yang dianggap good looking ternyata berhati kurang baik. Yang bicara manis ternyata memiliki hati yang bengis. Ini yang biasanya menjadi awal dari titik patah. Mungkin dengan perselingkuhan ataupun soal berbeda paham. Hal ini yang kemudian menjadi trauma berat, merasa diri paling dikhianati.
Lantas ketika sudah patah hati, apa yang harus dilakukan?
Sebagian orang merasa trauma dengan hal ini, sehingga berspekulasi bahwa semua orang sama, ada juga yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya niat untuk balas dendam. Namun, kedua hal ini tidak ada dampak positifnya.
Inilah pentingnya “ketika hati rapuh akal harus tetap utuh”. Lalu bagaimana cara menstabilkan akal agar tidak terkontaminasi rasa?. Belajar berpikir adalah solusi dari hati yang amatiran. Tidak semua harus difilter dengan hati, akal harus ikut andil dalam hal ini.
Kebanyakan mahasiswa sering lupa tujuan awal masuk kedalam kampus, bahwa belajar adalah esensi yang paling utama. tidak baca buku, tidak berdiskusi dan tidak menulis adalah dosa mahasiswa. Namun semua itu seolah tertutup dengan nafsu biologis.
Tak ada yang pernah tau akhir dari sebuah cerita, bersama atau berpisah, berujung indah atau patah. Namun yang harus dilakukan adalah tetap belajar, isilah pikiranmu dengan ilmu. Yang akan menjadi filter ketika hati sedang bergoncang. Sungguh merugi yang masa mudanya dihabiskan menjadi budak rasa.