Formasta

Belajar Tentang Kebaikan dalam Segi Ruang Hidup, Tanpa Harus Mengharap Penilaian Manusia

Karya  Mahasiswa S-3 Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung


ForMASTA Tulungagung – Sebelum tulisan ini dinarasikan, satu kali saja penulis meminta izin untuk kembali menghela nafas dada. Meskipun sekali, dengan begitulah penulis bisa kembali mengingat bahwa nikmat tuhan begitu banyak dan amat berharga.

Tulisan ini, hanya akan sedikit bernarasi tentang mengapa kita berbuat baik, dan mengapa tidak boleh berhenti, terus berlangsung selama detik waktu masih kita miliki.

Berbuat baik adalah perihal yang perlu untuk kita lakukan dalam setiap dimensi waktu, kapanpun dan dimanapun. Pengecualianya hanya berada pada titik tertentu, bagaimana cara menakarnya? Itu adalah PR kita masing-masing, maka belajarlah.

Layaknya kita hidup, akan selalu bernafas dalam terang maupun gelapnya hari. Jadi, berbuat kebaikan merupakan nadi kebermaknaan hidup. Dengan menyandarkan berbuat baik karena allah swt, niscaya akan menjadi keberkahan tersendiri.

Hanya saja, terkadang manusia sering berhitung logika dalam melakukan kebaikan, dengan berdalih urusan pribadi lebih penting. Padahal konsepnya tidak harus menjadi hedon, yang baik adalah menakar agar keduanya berlangsung.

Berbuat kebaikan adalah dalam rangka urusan kita dengan allah swt, sosial hanyalah media perantara, manusia juga perantara. Ketaatan yang bagus, ditandai dengan sikap yang bagus.

Berbuat kebaikan sebagai amalan hidup, inilah yang sangat penting, tidak jarang dari kita hirau dengan amalan sederhana ini. Padahal, demikian dapat memanggil ridha allah. Sehingga, berbagai hidup kita juga akan dimudahkan oleh-Nya.

Apabila berbuat kebaikan sudah menjadi amalan hidup, maka seseorang tidak akan memperhatikan penilaian orang lain, entah dinilai baik maupun buruk tidak juga memberikan pengaruh, karena semua dilakukan lillahita'ala.

Seringkali orang berhenti berbuat baik karena kebaikanya tidak diakui, keputusan tersebut sangat disayangkan. Sebab, dalam hal ini perlu disikapi dengan sisi teologi, bukan rasio.

Apabila penyikapanya dengan rasio, maka yang didapatkan hanya kecewa. Akan tetapi, jika seseorang menyikapinya dengan sisi teologi atau keimanan, maka allah akan menukar kebaikan itu dengan keberkahan yang lebih.

Kembali pada pengertian awal, bahwa berbuat baik adalah dalam rangka menjalankan kewajiban atas perintah allah swt. Apabila kebaikan dilakukan demi manusia, potensinya adalah timbul rasa kecewa.

Dimensi ini adalah muatan dewasa, dalam bentuk umur ataupun sikap, keduanya dua sisi mata pisau yang saling melengkapi. Oleh sebab itu, jiwa yang sudah disandarkan kepada sang penciptanya, akan membawa alam fisiknya juga tenang dan bijak dalam menyambut setiap butiran-butiran hidup dalam kancah sosial dan kemanusiaan.

Ujian orang dalam berbuat baik itu tentu bermacam-macam. Sebagian kisah, orang berbuat baik tapi tidak diakui. Sebagian orang, menolong tapi dituduh pelaku. Sebagian lagi, orang yang berbuat kebaikan justru dicelakakan, difitnah, dan lain sebagainya.

Berurusan dengan manusia memang tidak mudah bukan? Tapi ingat, manusia adalah perantara saja, setiap tindakan kebaikan yang kita amalkan adalah untuk sang pencipta, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan dengan manusia, mereka hanya medianya saja.

Ada sebuah kisah miris, perempuan yang tertipu oleh logikanya sendiri, tanpa disadari ia telah kejam dalam ketidaksadaran.

“Suatu hari, ada kedua sahabat laki-laki dan perempuan yang berteman amat baik. Disaat tertentu, perempuan itu kesulitan dalam urusan keuangan, pekerjaanya terbengkalai karena laptopnya mati.”

“Lanjut cerita, teman laki-lakinya yang merupakan sahabatnya tadi merasa empati, membantu memberikan bantuan uang agar digunakan bertahan hidup sehari-hari. Sahabat laki-laki itu membantu meminjami uang karena memang untuk membantu, bantuan tersebut ia berikan beberapa kali setiap sahabat perempuan itu dalam keadaan sulit.”

“Suatu ketika, sahabat perempuan tersebut belum bisa bayar kos, kemudian tidur di salah satu tempat umum ditengah kota. Sahabat laki-laki menjenguknya, membawakan satu nasi bungkus, beberapa lembar uang, dan laptop. Kebetulan, laptop perempuan itu masih rusak, jadi dipinjami agar perempuan itu bisa bekerja.”

“Beberapa hari perempuan itu tidur ditempat umum tadi, dan sering lembur kerja dengan laptop yang ia pinjam dari teman laki-laki tadi. Uluran tangan itu sering diberikan oleh sahabat laki-laki, tanpa ada pamrih, memang tujuanya membantu.”

“Suatu ketika, keduanya kembali bertemu, di salah satu tempat di tengah kota, dan sekaligus perempuan tadi mengembalikan laptop kepada teman laki-lakinya tadi.”

“Usai ngobrol sejenak, laki-laki tersebut pulang, dan ketika membuka laptop, layarnya sudah rusak, bergaris, sudah sah itu rusak.”

“Sahabat laki-laki itu diam, mau minta ganti rugi juga tidak tega, karena biaya ganti layar sekitar 800 ribu. Dalam hatinya, semoga segera dapat rezeki, dan bisa membenahi laptopnya dengan uang sendiri di teknisi. Laki-laki tersebut, tidak menanyakan pada sahabat perempuannya, karena menjaga perasaan agar tidak syok.”

“Singkat cerita, dalam suatu momen, perempuan tersebut berpikir bahwa teman laki-lakinya tadi sering membantu karena ada kepentingan, ia merasa akan dimanfaatkan dalam urusan tertentu kedepan. Pikiran itu muncul ketika, sahabat laki-lakinya tadi meminta bantuan kepada sahabat perempuanya agar mengisi materi forum tertentu.”

“Berkat pikiran dan kecurigaan perempuan tersebut, justru semakin membawa dirinya ke dalam keliaran berfikir. Semua nomor sahabat laki-lakinya di blokir, dan semua akun sosial media disembunyikan, seolah-olah dia tidak mau dimanfaatkan. Padahal, dia sedang tidak tau diri saja, karena memang tidak ada kepentingan dari teman laki-lakinya tadi.”

“Melihat sikap sahabat perempuanya, laki-laki tersebut sedikit tersenyum, menghelai nafas satu dua kali, dan hatinya bergumam halus (Jika kamu mau, beritahu semua orang di dunia ini bahwa aku adalah pembohong, aku adalah suka memanfaatkan, dan aku adalah orang yang jahat. Kau bisa lakukan itu semaumu, dan aku tidak akan marah kepadamu, ayo lakukan agar hatimu puas, dan supaya pikiranmu juga puas).”

Sekian banyak kebaikan yang diberikan oleh sosok sahabat laki-laki kepada sahabat perempuannya, adalah gambaran dimana kebaikan telah melalui berbagai ujian. Bukanya ucapan terima kasih, tetapi fitnah yang ia dapatkan. Perihal tersebut, sudah sering dialami oleh pemuda tersebut, namun tidak menggoyahkan dirinya untuk tetap berbuat kebaikan kepada sesama.

Sedangkan perempuan tadi, ia telah merasa hebat, dan merasa berharga dengan versinya sendiri, ia tertipu oleh pikirannya sendiri, sehingga tidak sadar bahwa dirinya sedang tidak tau diri.

Bukan masalah jumlah atau banyaknya bantuan yang diberikan, tetapi perbuatannya berpikir curiga kepada orang yang sudah menolongnya adalah tindakan yang sangat merugikan dirinya sendiri.

Sedangkan pemuda tadi, tetap berada di dalam rel yang sama, setiap kebaikan yang dia lakukan ia yakin bahwa allah akan meridhoi, dan akan mengganjar dengan yang lebih.

Berdasarkan kisah tersebut, aktor pemuda diatas memberikan gambaran bahwa kita perlu merawat keikhlasan dalam bersedekah, ataupun dalam berbuat kebaikan. Meskipun, belum tentu diakui, bahkan justru terkadang bisa juga malah dipandang sebelah mata.

Orang yang hebat adalah mereka yang bisa mengalahkan dirinya sendiri, tulus tanpa penilaian orang lain, dan tetap melakukan kebaikan pula meski tanpa pengakuan orang lain juga.***

 

Belajar Dewasa Hari Ini, Untuk Menjadi Bijak Dihari Esok...


Penulis : Ahmad Ridwan. M.Pd.

Editror : Endang Fitriani

Pimred : Ahmad Maryono, S.Pd.

1 Comments

  1. I think this is real story from your life, and then you write it in short story to tell other about the meaning of kindnes. This is good artikel to share and can be read much people. 👍 (@anonym)

    ReplyDelete
Previous Post Next Post
Literasi

Jasa Skripsi