literasi bujang sumatera |
ForMASTA Tulungagung - Sering kita mendengar pertanyaan “kapan menikah?”. Pertanyaan simpel tapi memiliki potensi merusak mood khususnya bagi kaum jomblo yang belum menemukan pasangan.
Bahkan dalam guyonan media sosial, sering dijelaskan “pernikahan itu yang terpenting cuma kalih”, kalih sinten (sama siapa), hihihi.
Lalu bagaimana perspektif fiqih dalam memandang hukum pernikahan?
Menurut imam azh-zhahiri, menikah hukumnya wajib. Sedangkan menurut imam malik, imam hanafi dan imam hambali, hukumnya sunnah (dianjurkan). Sementara menurut imam syafi’i, menikah hukumnya mubah (boleh). Bahkan beberapa ulama banyak yang tidak menikah hingga akhir hayatnya.
Dari perbedaan pandangan diatas, bisa diambil kesimpulan secara filosofis bahwa menikah itu sejatinya sesuai dengan level individu. Menikah dihukumi wajib ketika segala yang ada didalam diri seseorang telah memadai untuk menikah dan tidak kuat menahan hasrat.
Menikah dihukumi sunnah ketika level seseorang sudah memiliki kekuatan ekonomi yang mapan dan mampu menahan hasrat biologis.
Menikah dihukumi makruh ketika seseorang memiliki keinginan untuk menikah dan sudah memiliki ekonomi mapan namun terjangkit penyakit seperti diabetes atau yang lain nya, yang berpotensi menyengsarakan pasangan nya.
Bahkan bisa dihukumi haram ketika seseorang tidak memiliki kemampuan namun tetap memaksa menikah yang hanya akan merusak pasangan dan dirinya sendiri.
Jadi bagi para jomblo, ketika ditanya “kapan menikah’, jawablah “ketika sudah siap”, baik secara mental dan ekonomi. Namun saya sepakat dengan socrates bahwa “apapun yang terjadi menikahlah, jika mendapat pasangan yang baik maka kamu akan dimuliakan, jikan mendapat pasangan yang buruk, maka kamu akan menjadi filosof”
Penulis: Nur Kholis, S.Pd. Editor: Oktavia d.l Pimred: A.Maryono, S.Pd