ForMASTA.COM - “SOPO WONGE SENG TEKUN BAKALAN TEKAN SENAJAN NGANGGO TEKEN” Begitulah kalimat yang sering diucapkan beliau sebagai simbol atau filosofi bahwa pentingnya bersabar dan giat dalam berproses. Tatkala mendengar kalimat itu, ingatan saya selalu membawa kepada kisah-kisah pahit tuju tahun silam, manakala saya sedang tertatih saat berjuang mempertahankan kuliah atau cita-cita.
Orang tua saya adalah petani utun, lulusan SD, asal palembang, kegiatan setiap hari menggarap sawah untuk kebutuhan sehari-hari, dari sekian banyak saudara, saya termasuk anak yang bandel, tidak membantu orang tua dirumah, dan justru melanjutkan kuliah ke tanah jawa.
“bocah ora manut wong tuo, dikon megae malah kuliah wae, arep dadi opo koe mbesok, wong cilik rasah cita-cita duwur, ora-ora kuat” diksi pahit yang saya dengar lima tahun yang lalu, kata-kata itu keluar dari ucapan kakak kandung saya sendiri, yang sekarang sukses menekuni perkebunan kelapa sawit dan karet. Selain itu, masih banyak lagi cemoohan yang serupa dari beberapa saudara, dan teman di desa.
Saat itu, saya berfikir bahwa kakak kandung saya tidak salah, ia berniat memberikan yang terbaik untuk adik-adiknya, hanya saja berbeda sudut pandang terkait dengan meraih kebahagiaan hidup, dia memaknai kebahagiaan dengan cara bekerja keras mencari uang, dan saya memaknai kebahagiaan dengan cara belajar sebanyak-banyaknya mumpung masih muda, dan bekerja disambi semampunya.
Orang tua saya bukan orang yang mampu, tapi beliau tetap meridhai atas apa yang menjadi keputusan saya pada waktu itu, meskipun dalam perasaanya dipenuhi dengan kehawatiran, kesedihan, dan rasa bersalah karna belum bisa membiayai anaknya untuk bertolabul ilmi. Sembari saya berangkat kejawa, saya senantiasa berjuang membesarkan hati kedua orang tua saya agar tidak psimis dengan proses yang saya lalui, upaya itu sering saya lakukan ketika memberikan kabar kepada mereka melalui telfon.
“mak, pak, aku tak golek ngilmu disek, lek sampean ridha, insyaallah bakalan lancar, kuncine siji, tulung aku di dongakne terus, sampean wong loro seng ikhlas” kalimat itu sering saya sampaikan tatkala saya memberikan kabar kepada mereka, cara itu saya lakukan agar kedua orang tua saya tetap tenang pikiran dan hatinya.
Perjalanan kuliah S1 saya jalani dengan sepenuh hati, semua biaya berjalan dengan lancar, meskipun kadang kala sedikit terhambat, namun setidaknya berhasil terlalui. Dana kuliah saya di S1 merupakan hasil dari ngarit (merumput), sejak MTS kedua orang tua saya memberikan anakan sapi kepada saya, dan disuruh merawat semdiri dalam keseharianya. Kemudian sapi itu saya pelihara, setiap pagi sebelum berangkat sekolah saya mandikan sapi, memberikan makan, dan membuang kotoranya, pulang sekolah jam 12 siang saya harus merumput, ngarit untuk memberi makan sapi, aktifitas itu saya lakukan mulai MTs sampai dengan SMA.
Enam tahun sudah sapi itu dalam rawatan saya, berlanjut ia melahirkan satu anak dengan kelamin laki-laki (pedet lanang), karna saya sudah lulus sekolah dan ingin kuliah, saya izin kepada orang tua untuk menjual sapi itu agar bisa dipakai untuk biaya kuliah, kemudian ayah saya mendatangkan penjual sapi, dan dibeli seharga 20 juta. Dari sanalah biaya kuliah S1 yang saya gunakan, sembari dalam setiap bulanya kedua orang tua saya membantu atas kebutuhanku yang kurang.
“Le, bapak mbantu sak isone lo, yo. Bapak ngewangi sak mampune, bar sampean kuliah S1 bapak gak iso mbantu opo-opo meneh” kalimat itu diucapkan sebelum saya berangkat ke tanah jawa, dan masih beberapa kali diulang saat kami ngobrol melalui telpon saat saya sudah lama di jawa.
Selama kuliah S1, tepat di semester empat saya mulai menerjuni dunia pekerjaan, dan belajar desain serta fotografi, kerjaan itu saya lakukan sebagai sampingan untuk bertahan hidup, dan belajar ketrampilan itu saya rencanakan untuk bekerja setelah lulus S1, setidaknya kalau saya punya skill disitu, kedepan bisa saya gunakan untuk kerja sama orang lain, dan berharap bisa untuk tambahan biaya kuliah S2.
Tepatnya di semester tuju, saya ujian skripsi, dan setelahnya saya dibingungkan karna belum punya tabungan apa-apa untuk daftar kuliah S2. Kurang lebih tiga bulan saya ikhtiar untuk menabung, ternyata sampai dengan waktu akhir pembayaran pendaftaran, saya belum juga memegang uang yang cukup, waktu itu ada di dompet lima ratus ribu, sedangkan biaya pendaftaran kuliah S2 pada waktu itu katakanlah empat juta, berarti kurang tiga juta lima ratus.
Upaya untuk menyelesaikan problem ini sudah mentok saya lakukan, namun belum juga terselesaikan, bahkan saya juga menghubungi bagian keuangan pada waktu itu, agar saya diberikan perpanjangan waktu tiga hari lagi untuk cari biaya pendaftaran “tidak bisa mas, ini sudah ketentuan kampus”.
Hari terakhir pembayaran uang kuliah waktu itu tinggal beberapa jam lagi, saya menghubungi teman-teman saya agar bisa membantu saya, sampai dengan azan magrip saya belum juga mendapatkan uang itu, sedangkan jam 11 malam pembayaran sudah terakhir, dan di tutup.
Waktu sudah petang, uang pembayaran kuliah masih saja lima ratus ribu, saya mencoba untuk menenagkan diri, saya masih menguji tuhan, apakah pertolonganya betul-betul akan datang manakala hambanya sedang dalam kesulitan, dan sedangkan do’a senantiasa saya sanjungkan, hati saya tak henti bersolawat pada malam itu.
Tidak disangka-sangka, jam 9.30 malam allah mengirimkan pertolongan, beberapa teman yang tadi siang saya hubungi ternyata transfer uang agar digunakan untuk pembayaran kuliah (registrasi), “wan sudah tak kirim ke rekening kamu” “wan sudah abang transfer” begitulah beberapa pesan dari teman yang tadi siang saya hubungi, membaca pesan itu saya langsung bergegas menuju ATM, dan membayar kuliah di semester awal, jam sebelas malam terakhir pembayaran, dan jam sepuluh lewat tigapuluh menit saya menyelesaikan pembayaran. Selisih tigapuluh menit cita-cita saya bisa melayang, cukup menegangkan bagi saya.
Ketika menjalani studi S2, saya menikmati pahit manisnya dalam mempertahankan, berbagai upaya terus saya lakukan agar lulus tepat waktu. Bukan perkara yang mudah memang, karna selama dua tahun, biaya kuliah saya ambil dari pijaman, setiap bulanya saya angsur, begitu terus dari semester satu hingga wisuda.
Mengalami kisah yang sama persis, tatkala saya mau registrasi kuliah S3, allah memberikan rejekinya yang cukup untuk pembayaran kuliah dihujung waktu, saya berupaya keras dari timur kebarat, dari selatan ke utara, dan seterusnya. Waktu itu, pada malam terakhir pembayaran, jam sebelas malam pembayaran sudah ditutup, dan berakhir, allah memberikan rizki kepada saya tepat jam sembilan malam, selesai membayarkan jam sepuluh malam.
Sedikit adalah lelucon dari kawan saya di malam itu, saat saya sedang berupaya mencari solusi agar bisa kuliah S3, sedangkan itu adalah malam terakhir, “wes bos, ojo dipaksakan, tuhan sudah menakdirkanmu untuk belum kuliah S3” Begitulah candaan dari rekan saya sembari tertawa, dalam kondisi yang genting, sekitar jam delapan malam kami masih bercanda tertawa bersama, mereka juga penasaran dengan konsep berfikir saya, apakah ia tuhan akan memberikan pertolongan dengan waktu sesingkat itu. “bos, isek enek waktu tiga jam lagi, kita tunggu aja dulu keajaiban tuhan” ucap saya dalam percandaan dengan teman-teman saya. Begitu jam 9 malam saya mendapatkan uang untuk biaya kuliah S3, seketika teman saya berkata kotor “diancok, kok isoto, giendeng” ucapan romantis ala temen-temen dekat saya, ia memang mahasiswa yang sering membuat lelucon dalam perkumpulan kami.
Sukur alhamdulillah, allah masih memberikan kemudahan kepada saya dalam menuntut ilmu, hingga saat ini di awal tahun 2022 saya masih bisa menjalani studi S3, dngan segala keterbatasan dan rintangan, namun allah selalu ada dalam keterselesaian rintangan-rintangan itu. Proses saya lalui bersama waktu, menjalaninya dengan ikhtiar dan do’a, dan insyaallah jika tuhan menghendaki, semoga program S3 ini bisa lulus tepat waktu dikemudian hari.
Salahsatu tokoh literasi yang berhasil membakar semangat saya adalah Prof. Dr. Ngainun Naim, penggiat literasi yang fenomenal, sekaligus dosen yang begitu ramah dengan para mahasiswanya, meskipun beliau sudah menduduki jabatan guru besar, namun tidak merubah keramahanya kepada siapapun.
Begitulah kata-kata prof. Naim, yang kemudian mengingatkan kembali terkait dengan kisah-kisah perjuangan saya dalam brtolabul’ilmi selama ini. Saya merasa, bahwa kata-kata Prof. Naim semakin memperkuat keyakinan saya, bahwa segala sesuatu yang diniatkan dengan sungguh-sungguh akan terwujud selagi allah mengizinkan.
Dengan segala keterbatasan dan ujian yang ada, seseorang hanya membutuhkan kesabaran dan keuletan untuk terus ikhtiar, sembari menyanjungkan do’a, dan upaya-upaya lain sebagai media memohon ridha allah swt.
Tentu saya tidak sehebat Prof. Naim, beliau adalah orang hebat dan berwawasan tinggi, sedangkan saya adalah anak desa yang baru belajar kemarin belum tau apa-apa, oleh sebab itulah saya memutuskan untuk belajar, setidaknya saya mengikuti sedikit jejak para ilmuan seperti Prof. Naim.
Dasar saya untuk kulaih, mencari ilmu di tanah jawa, sebenarnya sederhana, saya tidak beropsesi menjadi pejabat ataupun berimajinasi sukses, tidak. Saya hanya berfikir bahwa setidaknya sebagian dari hidup saya memiliki daya kemanfaatan, saya berharap sedikit ilmu yang saya dapatkan bisa saya amalkan, dan yang paling penting adalah untuk tabungan, yaitu tabungan amal jariyah utuk kedua orang tuaku kelak, hari umur ke 25 tahun ini saya merasa belum bisa memberikan sesuatu kepada kedua orang tua saya, proses bertolabul’ilmi yang saya jalani ini saya niatkan agar menjadi tabungan amal jariyah kedua orang tua saya di akhirat nanti, karna bagi saya, pemberian terbaik, dan cara untuk mencintai mereka berdua adalah dengan cara itu.
Hanya allah yang maha tau, salah atau tidaknya saya tidak memiliki kuasa terkait dengan itu, karna menuntut ilmu adalah ibadah, kewajiban, dan sebagai sarana untuk amal jariah kedua orang tuaku, maka proses ini saya lakukan dengan penuh khidmat. Semoga allah meridhai kita semua yang sedang dalam jalan kebaikan.
“Sopo Wonge Gelem Tekun, Bakalan Tekan Senajan Nganggo Teken”
Editor: Endang Fitriani
Keren Mas
ReplyDelete