Bang RE |
SERPIHAN KISAH
'Tulaling tut, tulaling, tulaling tulaling"
Terdengar telfonku sedang berbunyi, stelah kulihat ternyata itu adalah dering panggilan dari ibuku.
"Assalamulaikum mak, tumben isuk-isuk kok nelpon, priponkabare njenengan kaleh bapak? "
Sautku saat menyapa ibu dengan nada yang agak lembut, setelahnya ibuku menjawab salam mengajakku berbincang-bincang banyak hal, biasanya sebulan sekali beliau memang menelponku untuk menanyakan kabar.
"Walaikumsalam, pie kabarmu nek kunu le, lancar to lek sinau, ojo lali jogo kesehatane loya" Ucap ibuku ketika memberikan nasehat di telfon, seolah beliau seperti menghawatirkanku.
Tidak biasanya ibuku menelpon diwaktu yang masih sangat pegi seperti pada waktu itu. Mendengar perkataan ibuku, segera aku merubah nada pembicaraan yang sumringah dengan suara tersenyum, karna aku merasakan bahwa ibuku sedang merindukanku, aku berusaha memecahkan suasana dengan obrolan bercanda agar ibuku merasa bahwa aku baik-baik saja disini, dan tidak lagi terkhawatirkan.
"Walah mak, akuki nek kene mbendino maeme iwak pitek, rokok-ku yo surya, dadi yo mesti sehat, aman mak-mak, gampang lek mek perkoro ngoten e" Sautku dengan suara dan nada tertawa kepada ibu, dan ibukupun ikut tertawa dengan kekonyolan yang mungkin tidak begitu lucu.
Dalam telfonan itu aku dan ibu mengobrolkan banyak hal, mungkin beliau sedang ingin mendengar bahwa anaknya (aku) yang yang sedang kuliah S-3 di Jawa Timur memang baik-baik saja. Untuk sedikit mengobati rindunya, sedikit kuselipkan beberapa narasi yang kubuat untuk meyakinkan ibuku agar ia tak lagi merasa kawatir terhadap kondisiku.
Konon, Ibuku adalah anak dari seorang supranatural jawa yang terkenal pada masanya, lokasinya terletak disalahsatu desa yang ada di Kabupaten Tulungagung Jawatimur. Ibuku tidak sakti mandraguna layaknya ayahnya dulu, aku menyebut Ibuku adalah golongan sifi, penuh dengan kelembutan, kegigihan, sabar dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu, ia adalah guru terbaiku dalam aspek kedewasaan dan bersikap, karna teladan yang diberikan telah banyak membuka mata pikiranku.
Menyambung dari obrolan yang berlangsung tersebut, Ibuku kembali memberikan wejangan padaku "Le,
ibuk kambi bapak wes sepoh, urong iso mbantu okeh, aku karo bapak mung
iso ndungakne amprih sampean dilancarne lek golek ngilmu, diparingi
sehat, tur yo diparingi keslametan ndunyo lan akherot. le, sampean wes
gede, alhamdulillah karo seng kuoso diwei nikmat iso sekolah S-3, kui
lek ora mergo karepe seng kuoso ora bakalan iso, wong tuamu ora kuat
nyekolahne koe seduor iku. Pesene mamak kambi bapak, sampean ojo lali
ngibadahe, lek wengi tangi ilingo karo seng kuoso, lakonono seng apik
kanggo urepmu, dipikir dewe yo le"
Begitulah
wejangan yang dinarasikan ibuku dengan bahasa ala desa, dan sedikit
nada yang serius. Sontak logikaku kembali terbuka, sadar bahwa selama
ini aku telah banyak menyia-nyiakan waktu, dan kurang sungguh-sungguh
dalam berproses, serasa aku berdosa karna telah lalai akan besarnya
amanah dan harapan kedua orang tua kepadaku.
Sejak dulu, ibuku memang sosok perempuan yang identik dengan karakternya yang lembut, tapi ia sangat tangguh jiwanya. Oleh sebab itulah, kemudian setiap kalimat yang dituturkan sering menggetarkan jiwaku. Karna ibu adalah sosok yang paling banyak memberikan banyak pelajaran padaku melalui keteladanan, hingga saat ini wejanganya menjadi jimatku.
Saya
menyebunya jimat, sekali ibuku memberikan ridha dan do'a atas apa yang
sedang ku lakukan, sejak saat itu juga perjuangan akan aku mulai, tidak
ada persoalan lain yang dapat menggetarkan niatanku sedikitpun,
perjuangan akan terus berlanjut hingga titik tujuan. Do'a dan ridha
seorang ibu, menurutku itu adalah jimat paling sakti, ntah itu
pemahamanku yang sebatas sugesti atau seperti apapun itu, yang jelas aku
meyakini hal itu.
Kesaktian do'a dan ridha dari seorang ibu menjadi resep hidup yang jitu dalam kisah hidupku, karna dalam pandangan saya, ridha tuhan dan alam semesta satu paket dengan ridha kedua orang tua yang melahirkan dan merawatku selama ini. Haqul yakin, seandainya saat ini ada ilmuan besar seperti profesor misalkan, atau pakar ilmu besar sekalipun kok memberikan pertanyaan kepadaku dengan kalimat "Siapa Guru Terbaikmu Di Dunia?" Dengan tegas saya akan menjawab Kedua Orang Tuaku!
Narasi gado-gado yang tidak begitu berarti, tulisan ini sebatas kisah inspirasi yang pernah menjadi bagian dalam hidup saya, hingga berbagai capaian besar yang pernah saya lalui, studi S-3 yang diluar kemampuan saya masih terlaksana, dan kenikmatan lainya itu mrupakan hasil dari do'a dan ridha kedua orang tua saya. Jadi, ridha kedua orang tua adalah sarana yang tepat untuk membumikan ridha Allah swt.
Semoga tulisan receh ini dapat memberikan makna bagi pembaca, sebagai contoh bagi setiap orang yang sedang lalai dengan peran dan do'a kedua orang tua. Karna sesungguhnya, segala sesuatu yang kita lalui selama ini merupakan matarantai atau dampak dari campur tangan tuhan dan ridha kedua orang tua. Indikator ilmu yang sudah merasuk kedalam hati adalah jiwa yang gigih, tenang, bersyukur dan terjadinya kebaikan dalam diri.
Tulungagung, 20 Desember 2021