K.H Reza Ahamd Zaid atau yang biasa kita sapa dengan gus reza. Beliau lahir pada 22 september 1980. Beliau tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren salaf, tapi beliau juga mempelajari kajian kajian ilmu umum. Gus reza memulai pengajiannya langsung di bawah bimbingan ayahandanya yakni, Romo yai Imam Yahya Mahrus bin mahrus aly. Gus reza memanfaatkan waktunya di lirboyo dengan mengenyam Pendidikan salaf di madrasah hidayatul mubtadi’in lirboyo krdirir jawa timur Indonesia hingga pada tingkatan wushto.
Riwayat
Pendidikan :
• SDN IV LIRBOYO KEDIRI
• MTs dan Madrasah Aliyah di tribakti
lirboyo ( sekarang MTs MA AL MAHRUSIYAH)
• AL AHQOF University hadromaut, yaman
• Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Dalam
mengajak umat islam agar betul betul menjadi muslim atau Muslimah yang baik
perlu adanya etika, metode, dan strategi yang perlu di taati bagi setiap da’i.
“
zaman nabi Muhammad saw, para ulama sampai wali songo dalam mendakwahkan agama
islam, berangkat dari akhlakul karimah. Tutur kata yang baik, pergaulan yang
baik, menyikapi perbedaan dengan santun. Itu yang dilakukan para wali songo,
ulama ualam kita.” Ungkap K.H Aqil siroj, ketua umum pengurus besar nahdlotul
ulama (PBNU).
Jika
ada pepatah mengatakan,“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” maka bisa dibilang
Gus Reza menuruni leluhurnya dalam beberapa sisi. Ia biasa berinteraksi secara
luwas dengan berbagai golongan, kelas sosial, komunitas, bahkan dengan penganut
agama lain. Akan tetapi, Gus Reza selalu berpegangan prinsip kepesantrenan yang
kuat. Penulis sejarah, Sholeh Hayat, menyebut perjuangan KH. Mahrus Aly
mengalir kepada cucu beliau yang bernama Gus Reza (Kyai dan Santri dalam
Perjuangan Kemerdekaan).
Belajar
Kitab Kuning dan Kitab Putih
Gus
Reza tumbuh di lingkungan pesantren salaf. Meski begitu, dia tidak hanya
mengenyam pendidikan melalui kitab kuning ala pesantren salaf saja, tetapi ia
juga mempelajari kajian-kajian ilmu umum yang biasa disebut dengan kajian kitab
putih sebagai sinonim dari kitab kuning. Gus Reza memanfaatkan waktunya di
Lirboyo dengan merangkap pelajaran. Pada tahap dasar, ia menempuh pendidikan di SDN IV Lirboyo,
kemudian melanjutkan di tingkatan MTs dan Madrasah Aliyah di Tribakti Lirboyo.
Disamping belajar pendidikan formal, dia juga mengenyam pendidikan salaf di
Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien hingga pada tingkatan Wustho. Pada tahun 1999
dia melanjutkan pendidikan di Al Ahqaff University Hadramaut Yaman, dengan
Jurusan Syari’ah dan Hukum Perundang-undangan Negara, dan lulus di tahun 2003.
Semasa
kecil Gus Reza memulai pengajiannya langsung di bawah bimbingan ayahnya, Kyai
Imam Yahya Mahrus. Setelah belajar baca Al-Qur’an, kitab kuning pertama yang ia
kaji di depan ayahnya adalah kitab Jurumiyah. Sang ayah mulanya memberikan
pengajian dengan makna jawa ala pesantren, setelah sang ayah membaca kitab, Gus
Reza disuruh untuk mengulang apa yang telah dibaca ayahnya. Akan tetapi, dengan
syarat memakai kitab sang ayah, yang tentu saja kitab tersebut bersih tanpa ada
coretan makna jawa pegon. Dengan berusaha sekuat pikiran, Gus Reza mencoba
untuk membaca kitab dengan baik dan benar dari sisi gramatikal (nahwu) maupun
morfologinya (shorof).
Sikap
dan cara sang ayah mendidik putranya tidak jauh berbeda dengan santri lainnya.
Bahkan justru bisa dikatakan lebih ketat. Bila sang ayah mendapati kesalahan
dalam membaca, maka dengan keras sang ayah menegur dan menyuruh untuk mengulang
bacaan dari awal. Tidak hanya itu, bila terdapat kesalahan dalam membaca sering
kali bentakan keluar dari mulut sang Ayah. Tak jarang, beberapa benda melayang”
ketika sang anak tidak memperhatikan secara baik. Pada tahap berikutnya,
kitab-kitab lain seperti Tuhfatus Saniyah, Waroqot, Fathul Qorib, Fathul Mu’in
dan beberapa kitab lainnya juga terus dipelajari secara bandongan.
Selain mengaji kepada sang ayah, Gus Reza juga berguru kepada santri senior Lirboyo asal Malang, KH. Azizi Hasbulloh. Setelah jam sekolah malam di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien (MHM) selesai sekitar pukul 20.30 Wib, Gus Reza tidak langsung pulang ke rumah, tetapi dia mampir ke gubug Pak Azizi untuk mengaji sorogan kitab Fathul Qorib dan membahas permasalahan-permasalan fiqhiyyah waqi’iyyah (faktual). Selama tiga jam waktu dihabiskan untuk mengaji dan bermusyawarah bersama dengan Pak Azizi dengan membuka kitab-kitab kuning klasik mencoba mencari jawaban dan dalil untuk permasalahan-permasalahan Fiqhiyyah. Sangking gemarnya mengkaji permasalahan-permasalahn fiqhiyyah, selama di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien,
Gus Reza aktif mengikuti kegiatan Bahtsul
Masail, bahkan dia membuat komunitas Bahtsul Masail tersendiri yang
tersentralkan di sebuah gubug di tengah sawah, belakang pondok pesantren HM
Putra. Komunitas kajian itu diberi nama gubug ‘Duben’ yang berarti ‘Durung
Bener’ (belum benar) berharap terus untuk menjadi benar dan mencari kebenaran.
Komunitas ini berjalan dengan semarak dan semangat, halaqah atau perkumpulan
musyawarah dilakukan hampir setiap malam. Sesekali menjadi rujukan para santri
yang menginginkan jawaban dari permasalahan fiqih. Komunitas inilah yang
kemudian menjadi embrio akan munculnya Lembaga Bahtsul Masa’il dan Musyawarah
Kitab Fathul Qorib di lingkungan pesantren ayahnya, Pondok Pesantren HM Al
Mahrusiyah.
Gus
Reza sangat menjiwai dan menekuni apa yang menjadi aktifitasnya di pesantren,
karena hal tersebut senada dengan keinginan isi hatinya. Hari-harinya selalu
dihiasi dengan mengaji dan mengkaji masalah-masalah keagamaan dan berprinsip
teguh dengan kitab salaf. Tiba pada suatu masa sang ibu menyuruhnya untuk
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan harus keluar dari Lirboyo untuk
menuntut ilmu di tempat lain, dan pada waktu itu pilihannya adalah Hadramaut,
Yaman.
Tentu
saja arahan ibunya itu menyebabkan gejolak di dalam hati Gus Reza, seorang yang
sudah tumbuh di lingkungan pesantren salaf kemudian mendapatkan perintah untuk mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi yang notabene sebuah pendidikan yang
mengedepankan normatifitas dan rasionalitas. Penolakan sempat terucap oleh Gus
Reza, akan tetapi sang ibu tetap bersikukuh agar anaknya melanjutkan ke
perguruan tinggi, sambil menangis ia mengucap, “Apa kamu tidak melihat kakekmu
(KH. Mahrus Aly), seorang kiai besar yang salaf dari pesantren salaf akan
tetapi memiliki pemikiran yang maju, sehingga mendirikan perguruan tinggi
Tribakti’.
Gus
Reza tidak bisa menjawab dengan kata-kata kecuali berpamitan kepada ibunya dan
kembali ke kamarnya. Apa yang disampaikan ibunya betul-betul menjadi beban
pikiran. Dalam hatinya ada semacam pertarungan antara dua prinsip, tetap di
jalur salaf tradisional tanpa neko-neko atau legalitas formal, ijazah,
sertifikat dan lain sebagainya atau melanjutkan pada dunia pendidikan formal di
perguruan tinggi. Semalam gelisah, berusaha menimbang dan mempertimbangkan
sendiri mana yang terbaik untuk dirinya, yang pada akhirnya tidak bisa mengelak
dari perintah sang ibu seakan bayang sang kakek yang disebut oleh ibunya
menjadi motivator untuk mengatakan sami’na wa atho’na.
Mengaji
dan Kuliah di Hadramaut Yaman
Sesuai
dengan namanya Hadramuat, sebuah maqolah mengatakan “Man Hadlara fa Mat”
(barang siapa yang hadir maka akan mati). Sebuah provinsi tua di negara Yaman
yang dipenuhi gunung-gunung batu dan padang pasir. Dengan hawa panas dan dingin
yang sangat mencekam. Seakan seluruh keinginan menjadi mati di sini, tidak ada
alasan untuk berbuat sesuatu kecuali taqarub, belajar dan mengaji.
Kota
Tarim terkenal dengan sebutan ‘Kota para Wali’, di situlah Gus Reza melanjutkan
pendidikan dan duduk di bangku kuliah di sebuah perguruan tinggi yang bernama
al-Ahqaff University. Di kota Tarim ini juga, Gus Reza menghabiskan waktunya
selama empat tahun hingga menyelesaikan tingkat S1. Selain belajar di bangku
kuliah, Gus Reza juga mengikuti pengajian-pengajian yang digelar di
ribath-ribath (pesantren-pesantren) seperti Ribath Tarim, yang pada masa itu
dalam asuhan al Habib Hasan bin Abdullah as Syathiry dan al Habib Salim bin
Abdullah as Syathiry. Ribath Darul Musthofa, asuhan al Habib Umar bin Hafidz
bin Syeikh Abu Bakar dan beberapa pengajian-pengajian yang digelar oleh para
babaib dan masyayikh di masjid-masjid seperti pengajian silsilah kitab al imam
Abdullah bin ‘Alawy al Haddad bersama dengan al Habib Husein Balfaqiih.
Gus
Reza merasakan hal yang berbeda ketika belajar di Tarim-Hadramaut. Nuansa
pengajian lebih kental, sistem pembelajaran ala pesantren lebih terasa di sini.
Di kampusnya, materi kuliah tidak hanya sekedar dibahas atau didiskusikan,
melainkan harus dihapal seperti menghapal kitab atau nadzom di pondok
pesantren. Dia mengingat apa yang disampaikan oleh ayahnya, Kyai Imam Yahya
Mahrus, bahwa mondok di luar daerah atau luar negeri tidak hanya sekedar
menambah ilmu, tetapi juga menambah wawasan dan pengalaman. Hal yang paling
dirasakan adalah pengalaman interaksi dengan masyarakat sekitar dan wawasan
bahasa Arab baik itu bahasa yang fushah atau ‘amiyyah.
Awal
belajar di Al Ahqaff, Gus Reza termasuk minim dan pasif tentang percakapan
bahasa Arabnya. Selama tiga bulan dia tidak dapat berkomunikasi bahasa Arab
dengan lancar, bahkan tidak jarang Gus Reza menjadi bahan tertawaan
teman-temannya karena percakapan bahasa Arabnya masih cekak. Setelah diperintah
oleh ayahnya untuk berpindah asrama dan berkumpul dengan orang-orang Arab,
akhirnya dia berusaha belajar percakapan bahasa Arab. Kebetulan dia bertempat
di sebuah asrama atau gedung al Buthoiha yang semua penghuninya adalah orang
Arab. Konon, penulis kitab Sulam at Taufiq, Sayyid Abdullah bin Husein bin
Thahir, pernah bertempat tinggal di gedung ini.
Begitulah
gus Reza, semangatnya dalam mendalami ilmu sangat besar, umur hanya angka muda
adalah jiwa. Masa depan kita ada ditangan kita sendiri mauu jadi apa kita
nantinya. Sebagai seorang ayah beliau ayah yang bertanggung jawab dan penyayang
kepada kleuarganya, sebagai anak beliau sami’na wa ato’na kepada orang tua,
sebegai pemimpin beliau amanah dan ramah, masya allah tabrokallah
Etika
dakwah yang beliau lakukan patutu seklai sebagai bahan acuan kita sebagai dai
untuk menncontohnya yakni ramah dengan sesame, bertutur kata lembut, suka
guyonan, tidak pernah tinggi hati ataupun besar kepala, terus mengkaji ilmu dan
memperbaiki diri
Masya
allah,,, semoga beliau selalau diberikan kesehatan, keselamatan, kebahagiaan,
dan keberkahan dunia akhirat amin
Tulungagung, 23 November 2021
Karya :
Nyaminingsih
Mahasiswa UIN SATU
Editor ForMASTA PERS
Endang Fitriani
Mengetahui:
Bang Ridwan, M.Pd.
Pimpinan Redaksi