Penulis : Intan Daris Malia Mahasiswa UIN SATU |
Baru saja aku mendapat telepon dari Zahra, dia memberi kabar bahwa besok dia akan pulang. Zahra adalah putri pendiri pondokku ini. Kami sanggatlah dekat, selama 3 tahun kita duduk bersama di bangku MA, kita juga sekamar.
Meskipun putri pendiri pondok, Zahra tidak
suka di perlakukan dengan istimewa di pondok ini, dia berbaur dengan semua santriwati.
Selain pandai bergaul dia juga pandai dalam akademik. Dia mendapatkan beasiswa
kuliah di UIN Sunan Kalijaga Jogja, dan telah menyelesaikan pendidikan S1-nya
dalam waktu 3 setengah tahun. Minggu lalu dia telah di wisuda dan menjadi lulusan
dengan IPK tertinggi.
Aku terbangun dan segera
melihat ponselku. Sekarang sudah pukul 03:05, tetapi belum ada notifikasi dari kak
Syarif. Aku pun memutuskan untuk meneleponnya, saat aku hendak menekan tombol panggil, tampilan layar ponselku
berubah, menunjukkan ada panggilan masuk dari kak Syarif. Aku pun langsung menerima
panggilannya.
“Assalamualaikum bidadari surgaku.” Sapaan andalannya setiap kali
mengajakku untuk bangun di sepertiga malam terakhir agar bisa melaksanakan
sholat Tahajud.
“Wa’alaikum
salam calon imam” jawaban andalanku juga untuk membalas kata-kata manisnya.
“Ya
sudah, yuk sholat Tahajud. Jangan lupa doanya semoga aku bisa menjadi imam yang
terbaik untukmu”
“Amin”
jawabku singkat dengan menahan debaran hatiku yang berbunga-bunga.
“Dan
aku akan berdoa agar aku bisa menjadikanmu ibu dari anak-anakku kelak, dan
mampu menjadikanmu sebagai pasanganku di Surga nanti.”
“Amin”
hanya itu yang bisa kujadikan jawaban, karena aku tidak mau dia sampai tahu debaran
di hatiku ini.
“Sudah
ya, aku enggak mau membuat kamu baper. Wasalamualikum”
“Wa’alaikum
salam kak”
Setelah kak Syarif menutup telepon, aku segera berwudu dan sholat
Tahajud. Setelah sholat Tahajud aku berdoa seperti apa yang kak Syarif katakan tadi.
Setelah menyatakan perasaannya padaku sebulan yang lalu, dia selalu
membangunkanku di sepertiga malam terakhir dengan meneleponku.
Dia mengajakku
untuk sholat tahajud, dan memintaku untuk berdoa demikian. Dengan senang hati aku
menerima ajakannya untuk sholat Tahajud dan berdoa demikian, karena akhirnya
cinta dalam diamku selama ini bukanlah cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Kak Syarif adalah teman masa kecilku. Karena rumahnya tak jauh dari
rumahku, sehingga kita menghabiskan masa kecil kita bersama. Kita juga sekolah
di Sekolah Dasar yang sama. Kak Syarif sudah seperti kakakku, dia selalu
menemaniku, menjagaku dan membantu dalam
mengerjakan tugas sekolah. Hingga saat kak Syarif lulus SD dan masuk ke Pondok,
kami tidak bisa bertemu sesering dulu. Hanya saat liburan pondok saja kita bisa berjumpa. Dan kebersamaan kita sekarang hanya bisa melalui ponsel saja.
Sore yang cerah, aku menikmati keindahan sore ini di balkon
kamarku. Tiba-tiba saja ada yang memelukku dari belakang.
“Assalamualaikum
Salma sayangku” aku yakin ini suara Zahra.
“Wa’alaikum
salam Zahra cantik” jawabku dengan membalas pelukannya.
Kita pun membicarakan banyak hal. Zahra bercerita bahwa dia telah di jodohkan
dengan Rahman, yaitu alumni pondok putra yang baru saja pulang dari Mesir
karena telah menyelesaikan pendidikan S2 nya di sana. Akan tetapi Zahra menolak
perjodohan itu.
Alhamdulillah dari pihak lelaki bisa menerimanya. Lalu keesokan
harinya Zahra di tanya oleh bapaknya, kenapa menolak lelaki baik-baik seperti Rahman.
Akhirnya Zahra pun mengatakan yang sejujurnya, bahwa selama ini dia memendam
perasaan terhadap Arjuna .
Zahra merasa sangat senang karena bapaknya menyetujuinya,
karena bapaknya Zahra adalah sahabat dekat bapaknya Arjuna . “Bapak akan
menemui Arjuna dan membicarakan hal ini” itulah janji bapaknya pada Zahra yang
membuatnya sangat bahagia.
Arjuna adalah salah satu sekretaris pimpinan yang sangat di kagumi oleh Zahra sejak dia masih
jadi santri. Arjuna adalah santri yang tampan,
berprestasi dan sopan. Arjuna juga sangat disiplin dan bertanggung jawab dalam
melaksanakan tugasnya sebagai sekretaris pimpinan. Arjuna bukanlah nama aslinya, melainkan julukan
bapaknya Arjuna dulu waktu masih menjadi
santri bersama bapaknya Zahra, karena beliau santri yang paling tampan dan
menjadi idaman para santriwati bak Arjuna. Maka dari itu bapaknya Zahra
memanggilnya Arjuna. Dan hingga sekarang pun Zahra tidak tahu nama asli dari
Arjuna.
“Wah
selamat ya...” aku pun turut senang mendengarnya.
“Tapi
jangan bilang siapa-siapa dulu Sal, soalnya bapakku akan menemui bapak Arjuna besok”
“baiklah,
aku akan tutup mulut. Tapi kamu harus kasih tahu aku fotonya Arjuna”
“Wah,
aku enggak pernah menyimpan fotonya dia. Tapi aku janji, kalau dia menerima
perjodohan ini, aku kirim fotonya dia ke kamu.”
“Baiklah
kalau begitu.”
Aku
terbangun dari tidurku saat mendengar ponselku berbunyi karena ada panggilan
masuk dari kak Syarif. Aku pun langsung menerima panggilannya.
“Assalamualaikum
Salma” sapanya tidak seperti biasanya.
“Wa’alaikum
salam” jawabku singkat, aku merasa ada yang berubah.
“Aku
harap kamu tetap beristiqomah sholat Tahajud di sepertiga malam seperti
sekarang. Akan tetapi aku mohon agar kamu mengubah doa yang biasanya kau
panjatkan. Berdoalah semoga kamu segera di pertemukan dengan jodoh terbaikmu.
Maaf karena aku tidak bisa menjadi imam bagimu.”
“Mengapa
begitu kak?” kenapa tiba-tiba dia berubah seperti ini? Tanyaku dalam hati.
“Sekali lagi aku minta maaf Salma. Wasalamualaikum”
Belum sempat aku memahami perkataannya, dia sudah menutup telepon.
Aku mencoba untuk menghubunginya kembali, tetapi tidak bisa tersambung. Aku
berusaha untuk berfikir positif dan melakukan sholat Tahajud.
Sekarang sudah sore, akan tetapi kak Syarif belum juga bisa aku
hubungi. Saat aku mencoba untuk menghubungi kak Syarif, Zahra meneleponku dia mengatakan
bahwa perjodohannya dengan Arjuna telah di setujui. Dan nama asli dari Arjuna adalah M. Syarifuddin. Mendengar penjelasan
dari Zahra aku tidak bisa berkata-kata lagi. Tubuhku merasa lemas, sehingga
ponselku terjatuh dari genggamanku.
Semua pertanyaanku terjawab sudah. Pertanyaan akan sikap kak Syarif
yang tiba-tiba berubah. Dan ternyata Arjuna yang
selama ini di kagumi oleh Zahra adalah kak Syarif, dan kak Syarif
menerima perjodohannya dengan Zahra. Air mataku sudah tidak mampu aku bendung
lagi. Rahma datang dan memelukku. Rahma adalah satu-satunya orang yang
mengetahui hubunganku dengan kak Syarif. Setelah aku menceritakan apa yang baru
saja terjadi, dia berusaha menenangkanku.
Dengan sekuat tenaga aku mengikhlaskan kak Syarif untuk Zahra,
karena aku sadar diri bahwa aku bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Zahra.
Dan lagi pula Zahra sudah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri, jadi aku
harus bisa mengalah untuk kebahagiaan Zahra. Aku dengar minggu depan adalah
hari lamaran mereka berdua, sekaligus untuk menentukan hari pernikahan mereka.
“Assalamualaikum
Salma cantik” sapa Zahra tiba-tiba.
“Wa...Wa
alaikum salam Zahra....kok kamu di sini?” tanyaku kaget akan kehadirannya.
“Maafin
aku ya Salma, aku tidak tahu kalau kamu ternyata sudah ada hubungan dengan kak
Syarif. Kamu enggak cerita ke aku sih..” ucapnya sambil memelukku.
“Ini
bukan salahmu Zahra, mungkin kak Syarif memang bukanlah jodohku.” Jawabku
sambil menyeka air mata yang keluar sendiri tanpa perintah.
“Tetapi
kalau kamu memang benar-benar mencintainya, aku mundur saja Sal.”
“Jangan
Zah, aku yakin kamu bisa membuat kak Syarif bahagia daripada dia bersamaku.”
“Tapi
Sal....”
“Tidak
apa-apa Zahra, aku ikhlas.” Aku memotong ucapannya.
“Baiklah
kalau kamu memang benar-benar mengikhlaskan kak Syarif untukku.”
Hari ini adalah hari lamaran antara Zahra dan kak Syarif.
Sebenarnya aku tidak ingin menghadiri acara itu, namun Zahra memaksaku untuk
datang. Zahra memintaku untuk duduk disampingnya saat acara lamaran. Saat semua
hadirin telah berkumpul, aku dan Zahra masuk ke ruang acara. Aku bisa melihat
ada om Bagas dan tante Risa duduk di sebelahnya kak Syarif. Dan orang tuaku pun
hadir, mereka duduk di sebelahnya orang tuanya kak Syarif.
Acara pun dimulai. Aku berusaha sebisa mungkin untuk terlihat
bahagia di hari lamaran kedua sahabatku ini. Aku berusaha menulikan
pendengaranku saat kak Syarif akan bertanya kepada Zahra akan kesediaannya
untuk di jadikan istri.
“Bersediakah
engkau menjadi ibu dari anak-anakku, dan menjadi pasangan dunia akhiratku
ya.... Salma Nur Faiza?” ucap kak Syarif dengan lantang.
Aku
langsung menunduk dalam karena malu. Bagaimana bisa dia malah menyebut namaku
di hadapan banyak orang. Seharusnya dia menyebutkan nama Fatimah Zahra Adzkiya.
“Salma,
aku telah meminta kak Syarif untuk beristiqoroh. Dan ternyata kamulah yang hadir
dalam mimpinya, aku ikhlas kok Sal.” Jelas Zahra padaku.
“Bagaimana
Salma Nur Faiza binti Ahmad Basori?” kak Syarif menyebut namaku kembali.
“Jawab
Sal” pinta Zahra padaku.
“Ibu
merestuimu nak” ucap ibu yang sekarang telah di dekatku.
“Ba...Baiklah
aku bersedia” dengan gemetar aku menjawabnya.
“Alhamdulillah”
seru kak Syarif bahagia.
Aku pun tersenyum melihat raut bahagianya. Aku juga dapat melihat
kebahagiaan dari kedua orang tuaku dan kedua orang tua kak Syarif. Zahra dan
ibu memelukku dengan tawa bahagia. Terima kasih banyak ya Allah, Engkau telah
mengabulkan doaku dan doa kak Syarif di sepertiga malammu
selama ini.
Tags:
sastra